Jumat, 25 November 2016

Pahlawan

Ir. Soekarno


(Pahlawan Proklamator dan Presiden RI pertama th 1945-1966)

Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika..


Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah teknik yang sekarang IT). Ia berhasil meraih gelar ‘Ir’ pada 25 Mei 1926. Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.
Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai “Pahlawan Proklamasi”.

Tokoh Kontroversial
Sebagai sosok yang memiliki prinsip tegas, Bung Karno kerap dianggap sebagai tokoh kontroversial. Maka tak heran jika dia memiliki lawan maupun kawan yang berani secara terang-terangan mengritik maupun membela pandangannya. Di mata lawan-lawan politiknya di Tanah Air, ia dianggap mewakili sosok politisi kaum abangan yang “kurang islami”. Mereka bahkan menggolongkannya sebagai gembong kelompok “nasionalis sekuler”.
Akan tetapi, di mata Syeikh Mahmud Syaltut dari Cairo, penggali Pancasila itu adalah Qaida adzima min quwada harkat al-harir fii al-balad al-Islam (Pemimpin besar dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam). Malahan, Demokrasi Terpimpin, yang di dalam negeri diperdebatkan, justru dipuji oleh syeikh al-Azhar itu sebagai, “lam yakun ila shuratu min shara asy syuraa’ allatiy ja’alha al-Qur’an sya’ana min syu’un al-mu’minin” (tidak lain hanyalah salah satu gambaran dari permusyawaratan yang dijadikan oleh Al Quran sebagai dasar bagi kaum beriman).
Tatkala memuncak ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab soal status Palestina ketika itu, pers sensasional Arab menyambut Bung Karno, “Juara untuk kepentingan-kepentingan Arab telah tiba”. Begitu pula, Tahta Suci Vatikan memberikan tiga gelar penghargaan kepada presiden dari Republik yang mayoritas Muslim itu.
Memang, pembelaan Bung Karno terhadap kaum tertindas tidak hanya untuk negerinya namun juga negeri lain. Itulah sebabnya, mengapa ia dipuja habis oleh bangsa Arab yang tengah menghadapi serangan Israel kala itu. Bung Karno dianggap sebagai pemimpin kaum Muslim. Padahal, di dalam negeri sendiri ia kerap dipandang lebih sebagai kaum abangan daripada kaum santri.
Sebenarnya, seberapa religiuskah Bung Karno? Bukankah ia juga dalam konsepsi Pancasila merumuskan sila Ketuhanan Yang Maha Esa? Sila yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan mengakui lima agama. Bagaimana mungkin merangkum visi lima agama itu dalam satu kalimat yang mendasar itu kalau si pembuat kalimat tidak memahami konteks kehidupan beragama di Indonesia secara benar?
Dalam hal ini elok dikutip pendapat Clifford Geertz Islam Observed (1982): “Gaya religius Soekarno adalah gaya Soekarno sendiri.” Betapa tidak? Kepada Louise Fischer, Bung Karno pernah mengaku bahwa ia sekaligus Muslim, Kristen, dan Hindu. Di mata pengamat seperti Geertz, pengakuan semacam itu dianggap sebagai “bergaya ekspansif seolah-olah hendak merangkul seluruh dunia”. Sebaliknya, ungkapan semacam itu-pada hemat BJ Boland dalam The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1982)- “hanya merupakan perwujudan dari perasaan keagamaan sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya Jawa”. Bagi penghayatan spiritual Timur, ucapan itu justru “merupakan keberanian untuk menyuarakan berbagai pemikiran yang mungkin bisa dituduh para agamawan formalis sebagai bidah”.

Sistem Politik
Soekarno memiliki pandangan mengenai sistem politik yang didukungnya adalah yang paling “cocok” dengan “kepribadian” dan “budaya” khas bangsa Indonesia yang konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan keselarasan. Dalam retorika, ia mengecam “individualisme” yang katanya lahir dari liberalisme Barat. Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antarpartai.
Lalu ia mencetuskan Demokrasi Terpimpin. Dalam berpolitik Soekarno mementingkan politik mobilisasi massa, ia bersimpati pada gerakan-gerakan anti-imperialisme, dan mungkin sebagai salah satu konsekuensinya, penerimaannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik yang sah, pendukung konsepsi demokrasi terpimpin. Jadi ia mencanangkan sistem politik yang berwatak anti-liberal dan curiga pada pluralisme politik. Ia mementingkan “persatuan” demi “revolusi”.
Pada tahun 1950-an, Indonesia memang ditandai oleh ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh sistem demokrasi parlementer. Sistem ini bersifat sangat liberal, dan didominasi oleh partai-partai politik yang menguasai parlemen. Pemilu 1955-yang dimenangkan empat kekuatan besar, Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI- hingga kini masih dianggap sebagai pemilu paling bebas dan bersih yang pernah dilaksanakan sepanjang sejarah Indonesia. Namun, di sisi lain dari sistem parlemen yang dikuasai partai itu adalah sering jatuh bangunnya kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri. Selain itu, sejarah juga mencatat bahwa integritas nasional terus-menerus diancam oleh berbagai gerakan separatis, yakni DI/TI, PRRI/Permesta, dan sebagainya.
Kenyataan ini membuat Soekarno makin curiga pada partai politik karena dia menganggap Masyumi, dan juga PSI, terlibat dalam beberapa pemberontakan daerah.
Kemudian, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar Negara

Teori dan praksis
Dari teori-teori filsafat dan politik serta acuan-acuan historis yang digunakan dalam mengurai sila-sila Pancasila, tampak pengetahuan Soekarno amat luas dan dalam. Dalam uraian-uraiannya, tidak jarang ia menyitir pikiran Renan, Confusius, Gandhi, atau Marx. Dengan begitu, ia seolah ingin menunjukkan dan memberi contoh, tiap warga negara perlu terus memperluas pengetahuannya. Meski ia sendiri sebenarnya dididik sebagai orang teknik, namun amat akrab dengan ilmu-ilmu sosial, terutama filsafat, sejarah, politik, dan agama.
Dalam salah satu kuliahnya Bung Karno menyinggung kembali pertemuan dan dialognya dengan petani miskin Marhaen. Dialog sendiri sudah berlangsung jauh sebelumnya, tetapi ia masih mampu mengingat dan menggambarkan amat jelas. Ini menandakan, Soekarno menaruh perhatian pada perjumpaannya dengan wong cilik, rakyat jelata, dan ingin menjadikannya sebagai titik tolak perjuangan bersama guna membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu kemiskinan dan ketidakadilan. Baginya retorika memperjuangkan rakyat yang tidak disertai perjumpaan-perjumpaan langsung dengan rakyat adalah omong kosong.
Dengan kata lain, sebagai guru bangsa ia tak suka hanya berkutat di dunia teori, tetapi juga menceburkan diri ke realitas kehidupan sehari-hari bangsanya. Bung Karno selalu berupaya keras mempertemukan “buku” dengan “bumi,” menatapkan teori-teori sosial-politik dengan realitas keseharian manusia Indonesia yang sedang ia perjuangkan.
Bung Karno terus mempererat kaitan teori dan praksis, refleksi dan aksi. Mungkin inilah salah satu faktor yang membedakannya dari pemimpin lain, baik yang sezamannya maupun sesudahnya.
Perlu diingat, lepas dari apakah orang setuju atau tidak dengan uraian dan gagasannya, satu hal tak dapat diragukan tentang Soekarno: ia bukan seorang pejabat yang korup. Sulit dibayangkan, Soekarno suka menduduki posisi-posisi tertentu di pemerintahan karena ingin mencuri uang rakyat atau menumpuk kekayaan untuk diri sendiri.
Perjuangan Soekarno adalah perjuangan tulus, yang disegani bahkan oleh orang-orang yang tak sepaham dengannya. Karena itu, tak mengherankan betapapun ruwetnya ekonomi Indonesia di bawah pemerintahaannya, tak terlihat kecenderungan pejabat-pejabat pemerintah di zaman itu yang tanpa malu korupsi atau berkongkalikong menjual sumber-sumber alam milik rakyat.

Absennya guru-guru lain
Bagaimanapun juga, sebagai seorang manusia Bung Karno bukan tanpa kelemahan. Dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara, misalnya, ia tampak “menikmati” posisinya sehingga ada kesan ia tak lagi menempatkan diri sebagai seorang pelayan publik dalam tata masyarakat demokratis. Sebagai presiden seharusnya ia menyadari kedudukannya sebagai seseorang yang menjabat sejauh rakyat memberi mandat padanya, itu pun disertai batasan masa jabatan tertentu.
Rupanya Bung Karno tidak terlalu menghiraukan hal itu. Karenanya ketika tahun 1963 diangkat sebagai presiden seumur hidup, ia tidak menolak.
Sebagai seorang guru yang memandang negerinya sebagai sebuah “ruang kuliah” raksasa dan rekan-rekan sebangsanya sebagai “murid-murid” yang patuh, terkesan Bung Karno tak memerlukan adanya “guru-guru” lain. Ia tak keberatan akan keberadaan mereka, tetapi-sadar atau tidak-”gaya mengajar”-nya mendorong tokoh-tokoh lain yang potensial untuk juga menjadi guru bangsa terpaksa menyingkir atau tersingkir.
Kita belum lupa ketika pada 1 Desember 1956 Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden. Kita juga masih ingat bagaimana orang-orang dekat Bung Karno-seperti Sjahrir, Amir Syarifuddin, Tan Malaka, Moh Natsir, dan lainnya-satu per satu menjauh darinya.
Pada pertengahan 1950-an rupanya perhatian Bung Karno yang begitu besar kepada posisinya sendiri membuatnya kurang menyadari bahwa dampak Perang Dingin telah kian jauh merasuki Indonesia. Kemenangan PKI dalam Pemilu 1955 dan pemilu daerah tahun 1957, misalnya, telah benar-benar mempengaruhi perhatian dan kebijakan para pelaku utama Perang Dingin terhadap Indonesia.
Di satu pihak, Cina dan Uni Soviet menyambut kemenangan itu dengan gembira karena menandakan kian meluasnya komunisme di Indonesia. Di lain pihak, bagi AS dan sekutunya, kemenangan itu meningkatkan ketakutan mereka bahwa Indonesia akan “lepas” dari lingkaran pengaruh Barat. Dalam pola pikiran teori domino, lepasnya Indonesia akan berarti terancamnya kepentingan-kepentingan Barat di Asia Tenggara.
Sedikit demi sedikit panggung ketegangan pun dibangun. Tahun 1965-1966 panggung itu dijadikan arena pertarungan berdarah antara PKI dan unsur-unsur bersenjata yang didukung Barat. Bung Karno sadar, tetapi terlambat. Dengan gemetar ia terpaksa menyaksikan ratusan ribu rakyat yang ia cintai dibantai secara terencana dan brutal. Sedikit demi sedikit ia dijepit. Akhirnya guru bangsa yang besar ini disingkirkan dari panggung kekuasaan. Ia pun wafat sebagai seorang tahanan politik yang miskin, di negeri yang kemerdekaannya dengan gigih ia perjuangkan.

Akhir hidup Bung Karno memang memilukan. Tetapi ajaran-ajarannya sebagai guru bangsa tetap relevan dan penting untuk negara-bangsa ini. Orang dapat belajar tidak hanya dari apa yang dikatakan, tetapi juga dari tindakan, berikut keunggulan dan kelemahannya. Kita berharap kaum muda negeri ini tak jemu untuk terus belajar dari sejarah, termasuk dari Bung Karno sebagai guru bangsa.

sumber : twsterips3

0 komentar:

Posting Komentar